Al Haq wa Al Bathil
Kehidupan ini sudah memberikan pelajaran yang konkrit dan jelas, terutama
bagi manusia, yang senantiasa mau berpikir, dan memikirkan, khususnya atas
fenomena alam semesta. Seperti pergantian waktu. Maka, ketika datangnya fajar
di pagi hari itulah, yang dinamakan datangnya kehidupan. Dan, selalu dimulai
dengan mengingat Allah Ta’ala melalui takbir, tahlil dan tahmid.Dalam kehidupan ini ada pilihan-pilihan. Maka, manusia harus memilih diantara yang ada dalam kehidupan.
Allah Ta’la berfirman : “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut, dan beriman kepada Allah, maka sungguh, di telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui “ (Q.S. Al-Baqarah:256)
Jadi manusia diberi kebebasan oleh Allah Ta’ala untuk memilih sesuai dengan pemahaman atas realitas kehidupan ini, dan menentukan pilihannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ketika manusia sudah menentukan pilihan dan menetapkan posisinya, maka keputusannya menentukan pilihan itu akan menyebabkan manusia mendapatkan ‘jaza’ (balasan) di akhirat nanti.
Menjadikan Allah itu sebagai tujuan hidupnya. Seperti dikatakan oleh Allah Ta’ala : “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”(Q.S. Al-Baqarah:257)
Jadi ayat itu, menunjukkan pada posisi masing-masing atas pilihan manusia, yang mukmin dan kafir,sekaligus, apa yang nantinya akan didapatkan atas pilihan yang mereka lakukan itu.
Seperti halnya, Nabi Ibrahim a.s., melakukan pilihan yang sangat fundamental dalam kehidupannya. Beliau memilih meninggalkan ayahnya yang mencintai patung, sebagi bentuk kemusyrikan, dan mendurhakai Allah Ta’ala. Patung tidak dapat meninggikan derajat manusia, dan tidak layak lagi mendapatkan peribadahan dari manusia.
Manusia harus meninggalkan ‘ilah-ilah’ (tuhan-tuhan), dan hanya memiliih Allah Azza Wa Jalla, sebagai Tuhannya, dan meniadakan seluruh eksistensi ‘ilah-ilah’ yang akan menjadi padanan dari Allah Rabbul Alamin. Pengakuan la ilaha illa-llah, pasti akan membuat manusia memiliki posisi yang jelas bagi kehidupannya. Maka, memilih dan hanya mengabdi kepada Allah Ta’ala itu, akhirnya dapat membebaskan manusia dari penghambaan manusia lainnya.
Manusia yang sudah memilih Allah Azza Wa Jalla itu, sebagai tujuan akhir kehidupannya, maka ia akan terbebas dari segala bentuk perbudakan, dan akan mendapatkan kebahagiaan, kebebasan dalam arti yang sungguhnya. Tidak lagi kehidupan mereka diekploitasi oleh ‘ilah-ilah’ yang menggunakan atribut duniawi, yang sangat tidak berarti. Seharusnyalah orientasi kehidupan manusia itu, diarahkan untuk memilih kepada al-haq, bukan kepada al-bathil. Bukan memilih atribut-atribut yang menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam kehidupan yang celaka dan hina.
Jadi, kewajiban kita bukan memilih bikinan-bikinan manusia, yang nisbi, yang relatif, yang terbatas oleh ruang dan waktu, dan penuh dengan kepalsuan, kekotoran, kebohongan, dan hanya berorientasi kepada hawa nafsu. Manusia harus memilih segala kehidupan yang didasari oleh nilai-nilai Ilahiyah, yang dapat menyelamatkan hari depan umat manusia. Jangan pilihan yang kita lakukan justru membuat diri kita menjadi hina dihadapan Allah Azza Wa Jalla. Kita menginginkan kemuliaan disisi-Nya, kelak sesudah meninggalkan dunia yang fana ini.
Dan bukan hanya memilih kepada al-haq, sejarahpun telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.
Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.
Namun kebatilan pun dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib ra menyatakan: ”Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.
Hal ini diucapkan Ali untuk mengingatkan pasukannya ketika sempat mengeluh saat melihat semangat juang pasukannya mulai melemah, sementara para pemberontak sudah demikian destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para pengikut Ali saat itu malah menjadi ragu-ragu dan gamang.
Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta.
Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.
Sekali lagi marilah kita menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan menarik ibrah dari kisah Nabi Musa a.s. dan kaumnya.
Nabi Musa as adalah pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah SWT berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan, keraguan dan kegalauan mereka.
Semestinya kaum Nabi Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan opium, candu yang berbahaya. Mereka menginginkan hasil tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.
Seandainya mereka yakin akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan memasuki Palestina dengan selamat.
Bukankah Allah SWT telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika engkau menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan Kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad:7)
Hendaknya jangan sampai kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri. “Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki negri itu.
Namun demikian, Allah yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum. Tetapi tetap saja kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.
Kebodohan seperti itu pun kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim, tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk atau berdiri menonton saja.
Rasulullah saw memang telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Siapa lagi?”
Kebahagiaan sejati akan diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.
Nabi Yusuf as sebuah contoh keistiqomahan, ia memilih di penjara daripada harus menuruti hawa nafsu rendah manusia. Ia yang benar di penjara, sementara yang salah malah bebas.
Hal yang demikian bisa pula terjadi pada orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama para nabi dan rasul, shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan sanggup melupakan sakitnya penderitaan dan kepahitan perjuangan karena keterpesonaan mereka pada surga dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.
Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah. Semoga kita terhindar dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki jiddiyah, militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Aamiiiiin……
Wallahu a’lam bis shawab